Aku Masih Si Kepala Batu yang Kau Kenal pada Hari Sabtu
- Suci Wulandari putri
- Apr 30, 2018
- 2 min read
Kamu, seseorang yang datang dengan cara yang tidak biasa.
Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang mampu mematahkan argumen atau hanya sekedar memecah nalarku waktu itu. Disaat semua orang mengangguk setuju tanpa berpikir kembali apa yang kuucapkan.
Ah menjengkelkan sekali kau waktu itu. Hari itu tepatnya siang menyongsong mentari yang mulai agak condong melewati garis di atas ubun-ubun.
Semangatku kala itu begitu berapi-api. Aku berkoar kesana kemari, menyuarakan apa yang aku pikirkan. Namun aku lupa kala itu untuk mendengarkan orang lain yang mendengarku.
Mereka semua tidak merespon negatif atau membantah ucapanku. Aku tak tau alasannya kenapa. Namun yang masih sangat jelas terbayang olehku kala itu, aku terlalu bernafsu, berambisi, hingga aku lupa kalau aku berjalan tidak sendiri.
Aku lupa ada orang disampingku yang juga ingin sampai ke gerbang yang ku kejar. Ah, andaikan kala itu aku tau kalau kau tak hanya hadir untuk waktu itu saja.
Andai aku tau jika beberapa waktu kedepan kau akan ikut andil disetiap jejak yang ku ingin pijak, aku mungkin akan merespon baik, sok imut, sok cantik dan berjibun kata sok lainnya yang dilakukan oleh perempuan. Berlomba menjadi yang terdepan untuk kau bisa genggam.
Waktu itu kau kulihat sangat angkuh, dan aku pun juga tidak terbiasa dengan orang yang menentang prinsip hidupku. Egois memang, ya aku itulah aku, dan sampai sekarang masih begitu.
Aku masih perempuan nyinyir, keras kepala, sok hebat, berambisi dan bernafsu tinggi dalam hal bernama mimpi yang pertama kali kau temui di lantai dua gedung sekolah hari sabtu. Seingat aku begitu
Seiring berjalannya waktu aku mulai berpikir kalau keangkuhanku waktu itu tak berhasil membuatmu hilang. Setidaknya untuk bertemu saja. Tapi kau selalu hadir, sering, setiap hari bahkan.
Aku mencoba menepis setiap perasaan bodoh itu muncul. Ah, palingan juga sebentar dan kemudian hilang, pikirku.
Aku mencoba untuk bersuara dalam diam, mengetuk pelan rasa yang dulu ku tolak berkali-kali.
Pun aku juga tak tau entah perasaan bodoh itu masih kutanam atau sudah kutepi habis agar ia tidak tumbuh.
Comments