Semangkuk Hati, Sesuap Rindu
- Suci Wulandari putri
- Apr 6, 2021
- 2 min read
Ah, sudah jauh saja rasanya aku berjalan, Mak. Banyak corak yang ku lihat dan suara yang ku dengar di rantau orang. Tapi entah lah, Mak, rasanya belum ku temui disana pemandangan yang lebih indah dari parak subarang, tempat aku dan Si Seno, dulu diam-diam maunian durian tengah malam. Berlampukan api yang diasah dari kayu rimbo, duduk beralas daun karambia yang di
jalin seperti lapiak pandan. Juga belum ada suara yang semenyenangkan sorakan durian jatuh di rimbo pakak, Mak.
Ah, memang aku ini padusi, Mak. Aku tau berulang kali kakiku dirambah sapu lidih karena bermain tak tentu hari, pergi siang pulang petang, berkawan dengan anak laki. Kejar-kejaran aku dengan ayam tiap azan magrib berkumandang di surau. Tapi itu sepenuhnya bukan salahku, Mak, kadang suara toa surau terbatuk-batuk, tidak terdengar oleh ku dari arah subarang. Jadilah aku pulang ketika langit sudah menggelap dan pintu rumah sudah kepalang dikunci. Aih, berkawan lah badan baun patuih ku ini dengan nyamuk.
Mak, Rantau orang yang ku jajahi ini begitu besar. Anak-anak kota seusiaku juga nampak bergaya dengan baju-baju mahal, seperti yang sering kita lihat di etalase berlampu di toko baju saat menjelang lebaran, bedanya ini tergantung di toko dalam gedung ber AC, mereka menyebutnya mall. Aduhai, Mak bergaya betul mereka aku lihat, sebelas dua belas dengan iklan yang sering kita tonton di tipi.
Kulit-kulit mereka putih, Mak, jangek mereka bersih. Ah, menggerutu lah aku yang sudah berkawan dengan jilatang. Benar lah kiranya air orang kota ini punya kaporit, Mak. Tidak ada noda di kulit mereka. Aku yakin mereka tidak pernah terkena galigato, sekali-sekali ingin lah ku suruh mereka memetik daun jilatang, pasti mereka menurut saja, oih, anak kota tidak akan tau bentuk jilatang, kan?
Commenti