top of page

Perihal Meragukan Mimpi


Siang nan terik setelah hujan badai merudungi tanah Agam beberapa minggu yang lalu membuat bulir-bulir keringat sebesar beras ketan mengalir di pelipis saya. Tangan saya masih menari di atas tuts keyboard, sembari memandangi layar laptop, ditemani sebuah novel karangan Bryan Khrisna yang judulnya This is Why I Need You di sebelah kiri meja kerja saya. Tentu tak lupa dengan tumpukan kertas skripsi dengan ragam coretan di sisi kanan meja kerja yang sedari tadi pagi tidak saya sentuh sama sekali. Benar-benar saya biarkan, biarlah, saat ini saya sedang pura-pura lupa kalau masih punya beban yang harus segera saya tuntaskan.


Hampir satu bulan lamanya saya tidak lagi aktif di media sosial, aplikasi Instagram saya hapus dari ponsel, facebook juga saya musnahkan. Aplikasi yang dulu betul-betul membuat saya gila pamer. Iya, saya dulu sangat-sangat menyukai pamer berkedok motivasi dengan caption ciamik tai kucing, tak lupa disertai foto onpoint yang sudah lulus seleksi dari sekian puluh foto yang ada di ponsel.


Satu tahun belakangan, saya merasa benar-benar hilang. Rasanya urat nadi yang dahulu mengalir darah hangat yang setiap hari berapi-api menyambut hari baru, kini makin lama kian mendingin. Satu tahun menjalani hidup yang berubah total jauh dari kesibukan kampus dan liputan, saya benar-benar kehilangan arah. Apalagi ditambah menjadi mahasiswa akhir yang sebentar lagi akan menghadapi dunia kerja.


Semakin hari saya semakin dibutakan dengan tujuan, semakin bingung dengan jalan mana yang harus saya tempuh. Ibaratnya salah langkah, saya tidak akan bisa mengulang ke awal dan menghapus jejak yang sudah kalang dipijak. Haha sepertinya kalimat itu malah memperumit hal-hal yang seharusnya bisa lebih disederhanakan.


Ada beban tersendiri ketika ego yang tinggi berlawanan dengan suara hati kecil yang berbisik namun menusuk bak belati. Ada bagian dalam diri saya yang berontak kalau saya memang harus menjadi seorang jurnalis, wartawan hebat suatu hari nanti, bisa menjadi repoter dan muncul di televisi nantinya.

Ah, cita-cita sederhana yang selalu saya bayangkan ketika 3,5 tahun yang lalu nekat lintas jurusan dari IPA ke IPS.


Tidak ada yang salah, dan itu terdengar sangat keren. Tapi di sisi lain hati kecil saya terus berbisik siang malam seolah mengingatkan ada sisi lain dari diri saya yang ingin sekali fokus ke dunia tulis-menulis. Entah itu cerita, puisi, dan sejagad dunia persastraan lainnya.


Saya punya mimpi, suatu hari nanti saya berhasil menyelesaikan buku saya, dan buku tersebut akan terpampang di gramedia, di urutan daftar buku rekomendasi, persis seperti apa yang selalu saya lihat ketika mampir ke gramedia. Suatu saat nanti buku saya akan diangkat ke layar lebar, ditonton oleh jutaan orang, dan ketika saat gala premier, saya akan berterimakasih kepada Tuhan karena mimpi saya jadi kenyataan.


Ah, boleh lah ya saya bermimpi. Selagi bermimpi belum dikenai biaya dan pajaknya. Terdengar mustahil, tapi 22 tahun saya hidup di bumi, yang paling kenal dengan saya, ya diri saya sendiri. Selama 22 tahun saya hidup, saya adalah orang yang paling susah mengambil keputusan, entah itu hal besar atau hal-hal yang sederhana, sesederhana memilih beli mie ayam atau bakso. Ya, sesederhana itu, saya memang benci mengambil keputusan.

Tapi orang-orang di sekitar saya selalu memandang apa yang saya kerjakan adalah hal yang beruntung, mereka mengesampingkan faktor “sulitnya mengambil keputusan” yang selalu saya hadapi.


Apa yang terlihat, tidak sesederhana yang dipikirkan, Teman.


Karena saya tau saya tidak bisa mengambil keputusan, ketahuilah, hingga detik ini apa yang sudah terjadi dalam hidup saya. Setiap keputusan yang saya ambil selalu berlandaskan feeling, berlandaskan suara hati kecil saya. Dan 22 tahun saya menjalaninya, belum pernah barang sekalipun feeling saya salah, apalagi meleset. Selalu tepat sasaran.

Awalnya saya pikir ini hanya kebetulan, tapi setelah melewati berbagai rintangan yang saya hadapi, keputusan berdasarkan hati memang tidak pernah salah. Contohnya sewaktu saya memilih jurusan kuliah. Secara logika, ini sepertinya tidak akan terjadi, wong anak IPA yang pernah rangking 3 dari bawah mau SBMPTN IPS yang persiapanya hanya satu bulan.


Tapi saya tidak tau kenapa di masa itu telinga saya seolah tertutup dari kalimat-kalimat yang mematahkan kemungkinan. Pendengaran saya seolah tuli, bahkan tertutup untuk logika saya sendiri. Pada saat itu suara hati saya begitu kuat, hingga akhirnya semesta bekerja dan semuanya menjadi mungkin.

Tapi ketakutan kali ini berbeda, ketakutan atas penolakan, ketakutan ketika jatuh, dicerca, diolok-olok, yang saya tau seharusnya itu yang harus saya jalani dan saya nikmati setiap proses untuk mencapai puncak.


Oh Tuhaan, tolong singkirkan sifat perfeksionis yang ada dalam diri saya ini. Sifat yang hingga saat ini tidak membuat saya bergerak barang sedikitpun untuk mengejar suara hati.

Ah memang jalan cerita setiap orang tidak ada yang tau, sepertinya saya harus mulai melangkah dan keluar dari zona nyaman, pelan-pelan mulai terbiasa dengan setiap hujan dan halangan yang akan menghadang.

Mengikuti kata hati yang selama saya hidup, tidak pernah ingkar janji.


Lubuk Basung, 6 April 2021






Comments


Post: Blog2 Post
  • Twitter
  • LinkedIn
  • Instagram

©2020 by Succ Portofolio. Proudly created with Wix.com

bottom of page