top of page

Mencari Lilin Kecil yang Hilang

Malam ini saya baru saja menyelesaikan buku fiksi “Selamat Tinggal” karangan Tere Liye, salah satu penulis favorit saya setelah Dee Lestari, Ahmad Fuadi, Brian Khrisna, dan tentu saja Ntsana atau yang akrab dengan nama pena Rintik Sedu. Sudah lama sekali rasanya saya tidak menulis, mengetik apapun yang berkecamuk dalam pikiran saya, seperti saat masih menjadi mahasiswa tingkat satu dan dua, semangat yang menggebu-gebu untuk menulis masih hangat terasa. Ah, saya benar-benar rindu semangat itu. Semangat yang setahun terakhir ini saya rasakan perlahan mulai memudar.


Setelah membaca buku Selamat Tinggal, hati saya tergerak kembali untuk menulis. Entah kemana dan sampai pembahasan apa saya menulis tulisan ini, saya juga tidak tau. Tidak ada faktor khusus yang bisa saya jadikan alasan kenapa saya rela mengeluarkan uang dua ratus ribu rupiah untuk membeli dua buku -yang harusnya cuma beli satu buku- minggu lalu ketika saya melipir ke Gramedia. Tidak ada niatan apapun untuk membeli buku ini ketika saya memasuki Gramedia. Alasan saya menyempatkan waktu langsung datang ke Gramedia minggu lalu hanya untuk membeli buku Brian Khrisna yang judulnya This is Why I Need You (TWINY). Novel ini bergenre romance-komedi, dan saya pikir ini bisa menjadi cara menghibur diri dan membangkitkan semangat di tengah pengerjaan skripsi saya yang sudah satu bulan lebih saya telantarkan, pengerjaannya masih stagnan di Bab 2.


Bukan karena kekurangna sumber referensi, sebenarnya kalau saya mau, saya bisa membeli buku atau bahkan mencari jurnal-jurnal ilmiah di internet. Tapi satu hal pasti yang saya rasakan, dan itu benar-benar menghambat pengerjaan skripsi saya, yaitu karena saya tidak punya motivasi sama sekali untuk mengerjakannya. Rasanya seolah semangat kuliah saya yang berapi-api sejak masih mahasiswa baru hingga selesai semester 6, seketika lenyap di semester 7. Saya tidak tau kenapa, mungkin dampak pandemi corona yang membuat perkuliahan dialihkan ke bentuk daring dan tidak bisa bertemu dengan teman-teman di kampus, bisa menjadi alasan kenapa hal ini bisa terjadi.


Tapi saya kadang selalu menyangkal setiap alasan yang ada, karena saya tau dengan membuat berbagai alasan logis yang mendukung kemalasan saya selama ini, membuat saya semakin punya dasar yang kuat dan semakin malas dan akhirny menunda pekerjaan. Saya sudah kehilangan sosok –yang kalau kata Shaina- ‘anak emasnya Bang Sahala’, yang ada dalam diri saya. Gelar yang disematkan hanya gara-gara di tugas pertama penulisan artikel Opini, tulisan saya berhasil dimuat di salah satu koran ternama di Bandung, Pikiran Rakyat. Hari itu, senin, 16 September 2019, jam 7 pagi di kelas Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana, saya masih ingat Bang Sahala memasuki kelas dengan membawa beberapa eksamplar koran hari itu, seperti biasa. Tapi pagi itu Bang Sahala ternyum begitu sumringah, kelas belum dibuka dengan ucapan ‘selamat pagi saudara, sudah dikumpulkan Apresiasinya?’ seperti biasa, pagi itu beliau langsung membentangkan koran Pikiran Rakyat Pagi, tepat di halaman enam belas, saya dapat melihat dengan jelas hari itu rubrik kampus terbit dengan edisi berwarna, lengkap dengan sebuah foto seorang mahasiswi yang tengah tersenyum malu-malu tai kucing di samping artikel, juga tercetak logo kampus berwarna kuning di tengah tulisan yang sudah tidak asing. Judul di artikel tersebut sudah tidak asing bagi saya. Dengan ternyum senang, Bang Sahala membentangkan koran tersebut sembari berkata:


“Suci Wulandari?” beliau memanggil.


Ah, detik-detik paling indah bagi seorang mahasiswa dangkal seperti saya.


“Selamat ya, Dek. Artikelmu dimuat di koran sekelas Pikiran Rakyat, pasti saat ini orang-orang rektorat, bahkan calon-calon rektor membaca artikelmu yang bagus ini,” ah setiap kata yang terucap begitu merdu terdengar.


Tidak apa dibilang lebay oleh orang-orang , tapi hey kawan, sejak nekat mengirim artikel itu ke redaktur Pikiran Rakyat, sungguh setiap malam tidur saya tidak tenang, makan tidak enak, kuliah tidak fokus, karena memikirkan isi artikel yang saya kirim isinya keluh kesah dan membeberkan setiap inci kejelekan Unpad, tidak ada bagus-bagusnya sama sekali- tidak seperti yang dipresentasikan mahasiswa baru ke adik-adik SMA setiap acara campus expo setiap tahun. Sungguh, saya sudah meminta saran dari beberapa teman yang sekiranya bisa memberikan penilaian agar saya bisa bernafas lega. Seketika waktu itu menyesali kenapa saya mengirim artikel sialan yang seharusnya hanya mendarat di meja dosen sebagai tugas mingguan saja. Setiap malam saya berdoa agar tulisan itu tidak dimuat, sungguh saya takut akan dicap sebagai mahasiswa yang ‘tidak tau terimakasih’ kepada Unpad. Bahkan kalau dimuat sekalipun, saya berharap cuma diletakan di kolom paling bawah, atau kalau perlu dengan font paling kecil dan dicetak hitam putih, agar cuma segelintir orang atau bahkan kalau bisa tidak ada yang tertarik untuk membacanya sama sekali. Artikel yang ketika penyerahan draft kasar ke dosen saja, saya beri judul paling aneh di antara semua judul yang diusulkan teman sekelas, atau bahkan mungkin dari satu angkatan, dan berhasil membuat satu kelas tertawa, lengkap dengan Bang Sahala yang geleng-geleng kepala. Artikel itu saya beri judul ‘SURAT CINTA UNTUK REKTORKU’ tapi setelah dimuat di Pikiran Rakyat, kata ‘CINTA’ tadi diganti menjadi kata ‘TERBUKA’, ya begitulah kira-kira.


Saya masih ingat betul kejadian pagi itu, sengaja bangun lebih pagi, tanpa sikat gigi, cuma mengandalkan siraman air wudhu bekas salah subuh tadi pagi, saya menunggu matahari cepat terbit, meminjam motor teman kosan, dan melajukan sepeda motor ke loper koran. Biasanya sudah buka jam 6.30 pagi, tapi hari itu saya harus dua kali bolak balik ke lokasi loper koran, hingga akhirnya tukang loper koran datang dengan koran yang masih hangat dari percetakan. Melihat saya melajukan motor dengan kecepatan tinggi dan bergegas turun, yang tanpa pikir panjang langsung bergegas menyambar koran Pikiran Rakyat, sudah bisa dipastikan oleh tukang loper koran, dari cara saya mengambil koran dengan terburu-buru-tanpa berpikir headline mana yang paling menarik hari itu, atau koran merek apa yang paling murah?- ia bisa menilai ini bukan mahasiswa yang cuma beli koran karena tugas kuliah, tapi karena ada sesuatu yang lebih penting dari itu.


“Tulisannya masuk koran ya Teh?”

Saya cengengesan menjawab “Iya, Pak”

“Anak Jurnalistik ya, Teh? Hebat euy, biasanya yang beli koran emang anak jurnalistik, apalagi kalau tulisannya dimuat, saya ikut bangga” ujar tukang korannya.


Hal yang membuat saya lebih tergelak lagi, setelah kejadian tulisan dimuat di koran itu, Shaina, teman baik saya di jurnalistik bilang:


“Kamu kan anak emasnya Bang Sahala, Ci, jadi aku juga mau jadi anak emasnya Mas Tito,” katanya.


Haha sampai sekarang saya masih tertawa setiap kali ingat saya dijuluki dengan panggilan itu oleh Shaina, yang pada akhirnya membuat dia benar-benar menjadi ‘anak emasnya Mas Tito’- dosen paling daging banget se antero Jurnal, dan itu benar-benar dibuktikan Shaina dengan hampir setiap kuis Kajian Media yang diajar Mas Tito- yang kadang untuk saya butuh waktu 5 menit mencerna satu soal yang semestinya cuma punya limit 1 menit untuk memahami dan menjawab soal- selalu menduduki posisi tiga besar, seringnya menduduki posisi pertama, meskipun katanya dia tidak baca materi sama sekali.


Sedangkan saya?, baca atau ga baca materi, tetap berada di urutan penjaga gawang, alias posisi baris-baris akhir, yang jika dikalkulasikan 6 soal yang benar dari total 10 soal, cuma satu atau dua soal yang murni dari kebenaran uji pikir saya yang lumayan, sisanya tentu saja karena sedang beruntung hari itu. Atau kalau sedang beruntung banget, pernah saya sekali duduk di peringkat 6 kuis, itu pun saya harus baca dan memahami materi siang malam, seminggu sebelum kuis dilaksanakan. Ah Shaina, saya curiga apa jangan-jangan Risol Shaina sudah diberi ramuan mujarab Einsteint? LOL. Sungguh saya sangat rindu hari-hari seperti itu.


Ah cerita saya jadi melebar sampai ke kuis Mas Tito ternyata. Ya tapi setidaknya begitulah, saya benar-benar rindu masa-masa itu. Jauh dari tanah Sunda membuat saya benar-benar rindu segala hal, yang menyebabkan kehilangan diri saya sendiri salah satunya. Haha, bahkan saya tidak menyadari saya akan sampai ke kisah 16 September 2019 itu, padahal tadi niatnya cuma menulis soal ungkapan isi pikiran dan hati saya setelah membaca buku Selamat Tinggal.


Saya tadi sampai di mana ya? oh iya sampai pembahasan kenapa saya mengambil buku ini, padahal awalnya cuma ingin membeli buku TWINY sebagai hiburan. Oke balik ke topik, jadi karena sudah keliling-keliling toko buku, dan tidak kunjung menemukan buku TWINY, akhirnya mata saya jatuh ke salah satu pojokan rak buku tempat di mana ditatanya buku-buku dengan peringkat penjualan paling laris di Gramedia, dan posisi pertama diisi oleh buku Selamat Tinggal ini.


Awalnya ragu, karena saya tidak mau membaca buku yang berat sebelum menghadapi skripsi. Tapi saya ingat, salah seoran teman pernah membeli buku ini, dan mengatakan ini sangat cocok untuk mahassiwa yang sedang skripsian, katanya, biar termotivasi kelarin skripsinya. Apakah saya percaya? hoho tentu saja tidak hahahaha tidak mudah memang menyalakan api lilin dalam diri saya yang mulai redup satu tahun belakangan. Namun saya pikir dari 10 nilai, setidaknya 1 nilai dapat terserap ke diri saya setelah membaca buku ini, ekspektasi saya begitu. Jadilah setelah menimang buku dan isi dompet yang harus tercekik karena tidak jadi membawa pulang si TWINY, saya melangkah menuju kasir, dan membayarnya.


Ya begini lah sekarang, efek dari membaca buku Selamat Tinggal, api kecil di lilin yang dulu redup itu perlahan mulai menyala kembali, belum terlalu besar memang, tapi berhasil membuat saya yang dulu untuk menuliskan satu kalimat saja harus bolak-balik buka tutup hanphone mencari motivasi dan meminum satu atau dua gelas kopi agar memuncukan ide, sekarang tanpa sadar sudah mengetik 1454 kata, 4 halaman penuh, mencurahkan apa yang ada di benak saya.


Bukan sebuah tulisan yang layak untuk dimuat di media massa menurut saya, tapi saya merasa untuk merasakan bahwa ada bagian kecil dalam diri saya yang perlahan hidup kembali, itu sudah lebih dari cukup, setelah lama mencari jawaban kemana hilangnya bagian dari diri saya yang lain, yang dulu pernah menjadikan saya bertanya-tanya:

“kenapa orang-orang berekspektasi tinggi pada saya waktu itu, padahal saya tidak se wow yang mereka nilai. Saya biasa biasa saja”.


Tapi benarlah adanya, api itu mulai redup satu tahun ke belakangan, saya akui itu, dan sungguh saya sangat berterima kasih pada Tere Liye, karena Selamat Tinggal-nya, saya menemukan bagian dari kepingan diri saya yang hilang.


Saat ini jam menujukkan pukul 23.04 WIB, sejujurnya saya berencana membuka kembali draft skripsi Bab 2 yang kalau ditinggal dalam bentuk hardcopy di tumpukan buku, sebagian kertasnya sudah lecek atau kotor dimakan rayap, saking saya tidak menyentuhnya. Sungguh, api yang mulai menyala kembali itu masih kecil, saya tidak tau apakah ini bisa bertahan lama atau tidak, setidaknya sebelah mata saya mulai terbuka, bahwa sebenarnya jiwa menulis saya sebenarnya tidak benar-benar mati, hanya terlalu terbuai hingga tertidur dan lupa bagaimana cara mengumpulkan nyawa untuk bangun dari tidur kembali.


Kau tau , kawan? Ini bukan persoalan skripsi, namun persoalan keberadaan jiwa saya yang hilang setelah lebih dari enam bulan saya tidak lagi menulis dengan hati. Semuanya saya kerjakan hanya karena persoalan pemenuhan kewajiban menyelesaikan SKS semata. Serasa ada bagian dalam diri saya yang membatu, berkarat, lumutan, dan itu sulit dihilangkan. Enam bulan belakangan tidak ada lagi begadang membaca buku yang sebenarnya memuakkan, tapi di lain sisi menyenangkan. Tidak ada lagi menggerutu ditolak narasumber untuk diwawancara, atau dimarahi dosen karen isu tulisan yang dangkal.


Mungkin kelihatan sombong jika dinilai, ketika saya bilang “saya kurang cambukan” dalam menjalani hari-hari di mana tidak ada lagi deadline artikel, tulisan di pers kampus, tidak ada lagi berburu media yang menyediakan UGC dan berlomba agar tulisan dimuat tanpa memikirkan dibayar atau tidai, tidak ada lagi.


Jauh dari kehidupan hiruk pikuk kampus, Bandung, dan Jakarta yang sebenarnya memusingkan, justru membuat saya merasa benar-benar hilang dari peradaban. Namun seperti yang saya bilang di awal, saya benci membuat alasan yang logis agar hal buruk yang saya alami atau saya lakukan punya alasan yang kuat kenapa harus terjadi. Termasuk alasan kenapa saya tidak lagi menulis, kenapa saya tidak lagi aktif membahas isu hangat, kenapa otak saya tidak lagi kritis, dan tentu saja alasan kenapa skripsi saya belum juga saya sentuh hingga sekarang, hingga detik ini saya mengetik tulisan yang tidak tau arah dan tujuannya akan kemana dan bagaimana.

Kalimat Tidak ada yang bisa memperbaiki diri kita selain diri kita sendiri, memang benar adanya, tapi di lain sisi, kalimat sok bijak sialan itu saya rasa harus direvisi ulang atau bahkan ditambahi catatan kaki: juga butuh hal lain di luar diri sendiri untuk memperbaiki hal buruk yang sudah terjadi. Sepertinya kalimat itu harus dicetak tebal , atau kalau perlu ukuran font-nya diperbesar. Jadi lebih mirip catatan tangan, bukan catatan kaki.


Ah, sungguh hari ini saya merasa kembali ke waktu di mana api lilin itu benar-benar menyala menerangi seluk beluk ruang jiwa saya. Jari-jari lincah menari di atas keyboard laptop, tanpa berpikir apakah nantinya tulisan ini akan dinilai buruk oleh orang lain yang pada akhirnya menjadi alasan terbaik saya memutuskan untuk tidak jadi menulis. Sesederhana itu, hanya karena sebuah perandaian yang belum tentu terjadi, kemudian pada akhirnya memutuskan untuk berhenti sebelum memulai. Ah, dasar mental pecundang. Tak ubahnya macam keledai.


Seperti yang saya katakan di awal, saya benar-benar tidak tau kemana arah tulisan ini, namun sampai di kata ke 2.048 ini, saya merasa bahwa perkara ungkapan suara hati memang tidak akan ada limit yang membatasi, mungkin akan ada tulisan-tulisan ngelantur sejenis setelah ini, saya tidak tau sampai kapan, tapi setidaknya sampai saya merasa serpihan jiwa yang hilang itu bisa saya temukan lagi, sampai saya tidak perlu lagi memberlakukan alasan-alasan sialan untuk membenarkan tindakan yang seharusnya tidak saya lakukan. Last but not least, terima kasih banyak Tere Liye, untuk Selamat Tinggal-nya, saya benar-benar merasa bisa bernafas kembali. Seolah membuka jalan kenapa saya harus berani untuk melangkah kembali.



Lubuk Basung, 9 Februari 2021

00:37 WIB


Aku yang sedang mencari lilin yang hilang

Comments


Post: Blog2 Post
  • Twitter
  • LinkedIn
  • Instagram

©2020 by Succ Portofolio. Proudly created with Wix.com

bottom of page