top of page

Buku Harian Jurnalis Dangkal #I Mau jadi apa?

Yakin mau jadi wartawan?”

Pertanyaan itu selalu dilontarkan oleh orang-orang terdekat ketika ku katakan hendak masuk dunia jurnalistik. Seolah meragukan apakah dengan menjadi wartawan aku bisa hidup atau tidak. Sebuah keputusan yang sunggu sangat berani dan di luar nalar sehat, untuk aku yang saat itu berada di rumpun IPA. Pindah haluan ke soshum karena merasa aku tidak sanggup jadi dokter. Ah dangkal sekali jika dipikir-pikir, padahal dunia saintek tidak hanya sebatas di dunia kedokteran saja.

Keragu-raguanku semakin meningkat ketika memulai kelas di hari pertama perkuliahan. Duduk manis di kursi baris paling depan, dan sebuah artikel dengan judul berfont besar mendarat di depanku, bertuliskan:

Mahasiswa Jurnalistik, Mau jadi Apa?

Ah, sialan. Tidak ada kah pertanyaan atau pernyataan yang membangun agar aku tetap berpegang teguh dan yakin kalau menjadi jurnalis bukanlah pilihan yang salah?. Namanya saja mahasiswa jurnalistik, ya tentu saja mau jadi jurnalis, tidak mungkin jadi dokter atau jadi insinyur pertambangan. Saat itu aku berpikir kenapa hal tidak penting ini harus ditanyakan di hari pertama perkuliahan?. Namun semakin aku menjalani, dan semakin memahami, selama 3 tahun aku menjalani perkuliahan, agaknya pertanyaan pertama di hari pertama kuliah itu menjadi pertanyaan penting saat ini. Setelah mengenal dunia jurnalistik yang tentu saja masih dangkal dan belum mencebur sepenuhnya, pertanyaan mau jadi apa? itu adalah pertanyaan sakral dan cukup membuat aku diam sejenak dan berpikir kembali untuk menjawab.

Semua yang ku alami di jurnalistik sungguh-sungguh di luar ekspektasi, tidak ada pemikiran kuliah di jurnalistik akan seperti ini pada awalnya. Banyaknya tugas, liputan, laporan, buku yang harus dibaca, diskusi kelas, debat dengan dosen, dan mengasah kekritisan. Di samping itu, yang orang-orang sekitarku tau :

“ah anak jurnalistik mah kerjaannya kan liputan dan nulis berita doang. Asik itu mah bisa jalan-jalan” Sialan, aku benci kalimat itu.

Tidak ada yang tau kalau ospek alias orientasi di jurnalistik itu sungguh kejam. Bukan, bukan perpeloncoan yang berbentuk fisik, tapi lebih ke arah akal dan pikiran. Di masa itu sungguh aku merasa menjadi orang paling bodoh sedunia ketika tidak bisa adu argument dengan para senior yang terlihat cerdas dan sangat congkak berdiri di depanku. Aku benci mereka, dan sialannya mereka yang terlihat congkak keesokan harinya masuk ke kelasku dengan title mengulang karena tidak lulus mata kuliah. Lucu sekali. Jadi yang sebenarnya bodoh itu, aku atau dia?

Seperti stigma pada umumnya, mahasiswa jurnalitik memang dikenal gondrong dan jarang mandi, dengan alasan karena dikejar deadline dan tugas yang belum dihandle. Tidak sepenuhnya salah, cuma ketahuilah wahai manusia, perawatan rambut mahasiswa jurnalisitk yang gondrong bahkan lebih banyak dari skincare ku setiap hari. Jadi sepertinya harus dipikir ulang lagi, sebenarnya anak jurnalisitk itu benar-benar jarang mandi atau tidak ya, saudara-saudara

Comments


Post: Blog2 Post
  • Twitter
  • LinkedIn
  • Instagram

©2020 by Succ Portofolio. Proudly created with Wix.com

bottom of page