top of page

Kuisioner

Sore itu aku masih sibuk scrolling whatsapp mengirimkan pesan ke semua temanku berharap mereka mau membantuku untuk mengisi kuisioner penelitian. Hasil revisi bersama dosen pembimbing minggu lalu. Ah, menjadi mahasiswa akhir memang se tidak jelas itu. Dibilang sibuk engga, dibilang gabut juga engga. Ya begitulah.

Setelah mengirim ke beberapa teman, mataku tertuju ke salah satu kontak yang sudah lama sekali tidak ku ketuk kolom chatnya. Terakhir kali aku berkomunikasi dengannya 23 Agustus 2019, tepat di malam hari ulang tahunnya. Aku selalu ingat tanggal ulang tahunnya, dari dulu, dari ketika kami masih bocah sekolahan, SMP lebih tepatnya. Namanya Bagas.

Agustus lalu tepat di malam hari ulang tahunnya aku mengirimkan pesan selamat ulang tahun pada Bagas. Hanya singkat, cuma selamat ulang tahun dan 2 kata harapan penutup pesan

“Lancar Kuliahnya.”

Hanya sampai di situ, karena aku tau kami hanya bisa berteman, tidak lebih, dan keesokan harinya foto profil WhatApp Bagas yang dari dulu hanya gonta ganti di gambar naruto dan One Piece, sekarang berubah menjadi foto dia dan seorang perempuan yang terlihat sangat manis. Ya, Bagas sudah punya pacar.

Lika liku pertemanan kami cukup pelik, pasalnya aku dan Bagas merupakan dua orang dengan karakter yang sama: sama sama keras kepala. Dan menjadi hal yang aneh pagi teman-teman pada saat itu ketika dua orang yang keras kepala seperti kami mulai berteman baik. Tidak ada perasaan istimewa awalnya pada saat itu, hanya sekedar teman. Awalnya aku bisa memastikan hal itu, dan aku yakin Bagas juga demikian. Aku sangat berbangga diri saat itu karena untuk pertama kalinya aku punya sahabat laki-laki.

Aku ingat hari ulang tahunnya, tapi sepertinya Bagas tidak lagi ingat kapan ulang tahunku. Mungkin ingat, tapi mungkin juga dilupakan. Karena ulangtahunku bersamaan dengan ulang tahun pacarnya yang sekarang: 3 Februari.

Awalnya aku ragu hendak minta tolong pada Bagas untuk mengisi kuisioner penelitianku, tapi karena sangat butuh responden, akhirnya aku memberanikan diri mengetuk kolom chat. Aku mengirim pesan singkat padanya

“Gas, lagi sibuk ga?”

Hari itu kebetulan Bagas sedang online, dan tak lama kemudian masuk notifikasi baru. Bagas membalas pesanku.

“Engga sibuk kok, Ra. Ada apa?” kata Bagas

“Boleh minta tolong isiin kuisioner penelitian aku ga? bentar doang kok, ga nyampe 5 pertanyaan” balasku.

“Harus sekarang, Ra? kalau bentar lagi gimana?” jawabnya. Sepertinya Bagas sedang sibuk saat itu.

“Ah, iya gapapa, besok juga boleh, kok, ga harus sekarang,”

“Dimana,Ra?”

Aku mengirimkan link kuisioner pada Bagas. “Di sini, Gas. linknya yang ini ya”

Bagas kemudian membalas pesanku, “Iya gue tau, udah diisi barusan di link yang itu, maksudnya lo sekarang dimana?”

“Di rumah. Jawabku singkat, kemudian menutup kolom chat, dan menyembunyikan handphone di bawah kertas revisianku. Aku tidak ingin membalas pesanya lagi, karena tujuanku saat itu hanya meminta tolong Bagas mengisi kuisioner. Aku tidak ingin pacar Bagas atau mungkin temannya, atau teman pacarnya, atau bahkan teman dari teman pacarnya salah paham antara aku dan Bagas. Lagi.

Iya. Lagi.

Ini bukan yang kali pertamanya terjadi kesalahpahaman, pernah sebelum ini juga pacar Bagas, yang tentu saja sudah jadi mantan, dendam padaku karena menyangka aku dan Bagas berpacaran. Padahal nyatanya tidak. Aku tekankan sekali lagi, cuma teman, tidak lebih.

Bagas orangnya friendly, mudah bergaul, baik, dan gampang akrab dengan orang-orang. Aku paling tau kalau Bagas baik ke semua orang, jadi ketika Bagas melakukan sedikit pengorbanan untukku, aku tidak begitu merasa diistimewakan karena memang Bagas melakukan hal itu ke semua orang. Seperti Bagas yang rela menungguku 3 jam di bandara karena pesawat Surabaya-Jakarta delay. Bagas yang rela membatalkan janjian nonton film di bioskop bareng pacarnya hanya karena ngotot ingin mengantarku ke stasiun sore hari. Dari semua hal yang dilakukan Bagas, aku yakin Bagas hanya menganggapku sekedar teman, tidak lebih. Buktinya sampai saat ini tidak ada tanda-tanda Bagas punya perasaan lebih padaku.

Tapi dari banyaknya perempuan yang dekat dengan Bagas, mantannya selalu berprasangka bahwa akulah yang menjadi penyebab berakhirnya dunia pacar-pacaran mereka. Itu pula alasanku kenapa menarik diri sedikit menjauh dari Bagas, seperti memilih SMA sistem boarding, sampai kuliah ke luar pulau. Tujuanku baik, aku tidak ingin nantinya dunia pertemananku dengan Bagas hancur hanya karena salah satu dari kami ada yang jatuh cinta.

“Makasih ya udah bantu ngisi kuisioner, sorry ngerepotin” jawabku. Aku merasa canggung saat itu karena sudah lama sekali tidak komunikasi dengannya.

“Nara, kita bukan dua orang yang baru kenal 2 hari yang lalu. Ngisi kuisioner doang, apanya yang ngerepotin, sih?. Emang ya, kalau orang yang udah ngejauh itu, bahasanya beda” balas Bagas.

Ya, Bagas tau, dan mungkin ia sadar sejak 6 tahun yang lalu aku mulai menarik diri dan sedikit menjaga jarak dengannya. Tapi bukan Bagas namanya kalau tidak keras kepala. Pernah ketika aku dan teman teman seangkatanku di SMA pergi keluar asrama, dan singgah di sebuah pasar, tanpa disengaja aku berpapasan dengan Bagas yang saat itu baru saja pulang sekolah bersama temannya. Ia membelokkan motornya kembali ke arahku, menghampiri, dan mengeluarkan pertanyaan pertama setelah aku menghilang darinya.

“Kemana aja?” tanya Bagas. Bajunya keluar, tidak ada rapi-rapinya sama sekali. Wajahnya kusut saat itu, sepertinya sedang pusing setelah ulangan harian. Dari dulu, seragam sekolah Bagas memang tidak pernah rapi, hanya rapi saat upacara bendera dan pagi hari ketika berangkat sekolah hanya sekedar memenuhi syarat pemeriksaan kerapian di gerbang sekolah.

Berantakan, bandel, keras kepala, tapi selalu juara kelas.

Heran.

Aku yakin saat itu semua teman-teman SMA ku melihat ke arah kami dari balik kaca jendela bus sekolah. Aku hanya tersenyum, dan berkata

“Gue ga kemana-mana, di asrama kan ga boleh bawa handphone,” jawabku. Bagas hanya mengangguk, dan ia mengungguiku sampai aku kembali naik bus sekolah dan pergi meninggalkan pasar sore itu.

Terhitung saat ini sudah 8 tahun aku mengenal Bagas, dan masih saja berteman baik. Ingat, berteman baik. Aku tidak friendzone seperti orang-orang. Tidak. Bagas tidak pernah mengungkapkan perasaannya padaku, jadi selagi itu tidak terjadi, aku juga tidak akan membiarkan perasaanku juga tumbuh.

Handphoneku kembali bergetar, pesan Bagas barusan belum ku balas, tapi sudah masuk pesan baru.

“Di rumah aja, tapi kita ga pernah ketemu.” kata Bagas.

Aku sangat hafal alur perkataan bagas, mulai dari mengatakan aku yang sudah jauh, tidak seperti dulu, kemudian menyalahkan karena sudah lupa dengan teman lama, dan berakhir aku yang selalu kalah berdebat.

“ Ga ada yang beda, Gas. Semua masih sama. Lo yang selalu bilang gue ngejauh, dan gue yang masih gini-gini aja,” jawabku malas.

Sepanjang perjalanan pertemanan kami, aku pernah berharap lebih pada Bagas. Sebelum aku mengunci perasaan dan tidak lagi berharap selain hanya sebatas teman. Oh ayolah, siapa yang tidak merasa istimewa jika setiap pagi selalu diucapkan selamat pagi, berbagi cerita tentang ada kejadian apa hari ini hingga membiarkan panggilan masih tersambung karena ditinggal tidur. Hampir bisa dikatakan 24/7 ku dengan Bagas. Aku ada di setiap ceritanya, tentang mimpi dan impiannya. Tapi setelah tau kenyataan Bagas punya pacar (lagi), aku mundur dari berharap lebih. Bagas tau aku belum pernah pacaran, dan tau juga kalau aku susah untuk jatuh hati pada seseorang. Dan untuk pertama kalinya aku jatuh hati dan kembali patah di orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Bagas.

“Bilang aja ga mau ketemu gue lagi,” kata Bagas.

Aku menarik nafas panjang, tidak ingin main kucing-kucingan lagi dengan Bagas. Perasaan yang dulu pernah tumbuh, aku singgkirkan kembali, sampai kapanpun Bagas hanya temanku. Tidak lebih.

“Besok sore di Taman kota, depan kantor Pos, Gue nemenin Firda beli kue pancong di sana. Kita ketemu di sana kalau mau ketemu,” kataku.

“Sebelah kiri toko reparasi kunci yang dulu kita datengin itu, kan?” tanya Bagas.

“Iya,” jawabku

Keesokan harinya Bagas benar-benar datang, dia datang setelahku. Taman kota masih sepi, Firda masih menunggu kue pancongnya. Tak lama kemudian Bagas muncul dari arah parkiran. Perawakannya lebih ceria, urakannnya sedikit berkurang, wajah-wajah bandelnya masih ada, hanya kali ini ia nampak lebih ganteng sejak terakhir aku bertemu.

“Parkir motor di mana?” tanya Bagas

“Di parkiran sebelah kanan” jawabku sembari menunjuk arah parkiran

“Motor Scoopy biru?” tanya bagas

“Iya” jawabku

“helm merah?”

“Iya”

“Kayanya motor kita sebelahan,” ujar Bagas.

Hari itu aku dan Bagas hanya ngobrol biasa seputar dunia perkuliahan sebagai mahasiswa tingkat akhir, sesekali meledeki anak ABG yang lagi bucin-bucinnya.

“Kuisioner yang kemaren itu buat skripsi ya?” tanya Bagas.

“Iya, tapi buat prariset aja,” jawabku.

Bagas memang selalu membahas dunia perkuliahan denganku, membahas hal-hal random yang sebenarnya aku sendiri ingat itu sudah pernah kami bahas sebelumnya. Tapi tidak tau kenapa kalau Bagas kembali cerita, rasanya seperti kembali menjadi topik yang baru. Ya, Bagas memang se menyenangkan itu orangnya. Sesekali Bagas mengusap rambutnya, sore itu bak adegan film, Bagar benar-benar terlihat ganteng.

“Gau usah sok tebar pesona deh, Gas. Cewek yang duduk deket kolam ga bakal liat ke sini,” ujarku, bercanda.

Bagas hanya tersenyum sembari menggaruk tengkuknya. Ganteng memang, tapi aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi saat itu.

Tidak ada.

Sungguh.

Biasanya Bagas akan banyak bicara soal latihan renangnya, tentang pelatihnya yang mengesalkan, nasi ayam penyet yang ada di seberang kosan, hingga ia yang selalu kesiangan kalau kelas pagi hari senin, karena semalaman nonton anime. Aku hafal ceritanya.

Tapi kali ini Bagas terlihat sedikit pendiam. Sesekali aku memancing obrolan agar suasana tidak garing.

“Gimana kabar Sandra, masih sama Sandra, kan?” tanyaku.

Ya, Sandra, pacar Bagas.

Bagas hanya tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaanku.

“Kuliah lo gimana?” tanya Bagas.

“Gas, yang namanya pertanyaan itu dibales jawaban, ga ada yang namanya pertanyaan dibales pertanyaan lagi,” jawabku.

Bagas terlihat gusar, tidak secerewet yang ku kenal. Tidak ada obrolan tentang Sandra. Tidak ada. Padahal jika ia bercerita tentang Sandra, aku akan bersiap-siap meminjam nama David, teman kelasku di kampus, sebagai gebetan jadi jadian agar aku tidak terlihat ngenes-ngenes amat.

Bagas tak kunjung menjawab pertanyaanku.

“Ini kok si Firda lama banget beli kue pancongnya, sih?” aku tidak tahan dengan tingkah Bagas yang tidak jelas, rasanya ingin segera pulang saja. Aku siap-siap berdiri.

“Lo kenapa sih, Gas? kalau ga ada yag mau dibahas lagi, gue pul..’” belum sempat aku menyelesaikan kalimat terakhir, Bagas berdiri dan memotong ucapanku.

“Gua sayang sama lo”

Deg.

Hening.

“Hah?”

“Iya, gue sayang sama lo!” ujar Bagas lebih keras.

“Gue?” tanyaku.

“Iya elo, Adinara,” ujar Bagas.

“Lo ga lagi sakit kan, Gas?” aku menghampiri dan meletakkan telapak tanganku di dahinya. Di tengah damainya suasana taman kota sore itu, Bagas meraih tanganku yang menempel di dahinya.

“Gua ga sakit, Nara,” kata Bagas.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, tidak ingin melihat Bagas. Kenapa si kampret ini baru mengatakan hal itu sekarang? Perasaan lebihku pada Bagas yang dulu sudah terlanjur hilang, seiring Bagas yang mengganti poto profilnya dengan Sandra.

Sialan.

Aku benci Bagas.

“Gue udah punya pacar, Gas.” kataku

“Gue ga percaya, lo orang yang paling susah suka sama orang, Ra. Gue tau itu,” kata Bagas.

“Sejak kapan?” tanyaku.

“Sejak lo nantangin gue lomba lari di stadion waktu nilai ulangan Biologi gue jelek,” jawab Bagas.

Insiden tantangan dihukum lari di stadion jika mendapat nilai ulangan jelek. itu terjadi saat aku dan Bagas masih kelas 3 SMP. Demi Tuhan, aku benar-benar marah pada Bagas.

“Lo gila, apa bego sih, Gas?. Kenapa baru ngomong sekarang? apa jangan-jangan lo udah putus dari Sandra trus mencari pelampiasan biar bisa balas dendam sama mantan?” ujarku marah.

“Ini ga ada hubungannya sama Sandra, gua putus sama dia bulan lalu, dan itu ga ada hubungannya sama lo. Gue udah berusaha nunjukin ke lo, tapi lo ga peka,” jelas Bagas

“Ga peka?” tanyaku.

“Iya, ga peka dengan apa yang selama ini gue lakuin demi lo” kata Bagas.

“Ga peka gimana? gue pikir karena kita temenan, ya wajar kalo lo baik ke gue,” kataku.

“Lo ga peka, gue yang rela nungguin lo di Bandara waktu cuaca buruk trus pesawat Surabaya-Jakarta delay, Ayah lo ga bisa jemput. Malem-malem, tiga jam gue duduk nungguin lo di pintu kedatangan karena khawatir lo diculik supir taksi. Gua yang rela belajar semalam suntuk soal matematika, padahal gue ga suka matematika, biar kalau ketemu dan belajar bareng sama lo, gue ga keliatan bego, karena gue tau lo sukanya cowo pinter. Gue yang batalin janji nonton di bioskop dan nganterin lo ke stasiun waktu itu, menurut lo itu belum cukup?” Jelas Bagas.

“Ya apa bedanya gue sama temen-temen cewek lo yang lain? Lo juga jemput Risa, anak kompleks 3D waktu dia lagi kehujanan trus mobilnya mogok di jalan waktu hujan, lo juga bantuin Dini, anak Pak Joko, Ketua RT, waktu dia ga bisa gambar, trus lo rela begadang semalaman bikin gambar buat dia. Waktu acara prom night SMP, lo juga ngajaknya si Vina, anak klub dance,idola anak laki-laki se sekolahan, bukan ngajak gue. Trus gue harus merasa special di sebelah mananya, Bagas?” ucapku.

Bagas diam.

Aku melipat tangan di dada, Bagas yang ku lihat saat ini tidak seperti yang ku kenal 8 tahun yang lalu. Aku benci Bagas.

“Lo tau, Gas? lo yang jadi alasan kenapa gue milih lanjut sekolah boarding, biar ga ketemu lo lagi. Lo juga yang jadi alasan gue milih kuliah jauh-jauh sampai keluar pulau, padahal waktu itu gue keterima di UI, kampus impian kita. Itu semua demi gue ga ketemu lo lagi, biar gue ga berharap lebih, biar pacar pacar dan mantan mantan lo yang ga suka sama gue itu ga kesel lagi karena gue. Gue tau lo itu cuma nganggap hanya sekedar teman,” kataku.

Bagas hanya diam dari tadi ia hanya menatapku, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya kulihat, seorang Bagas, Bagas Sucipto, menangis.

“Kenapa sih, Gas? cinta bukan soal tebak tebakan perasaan. Gimana orang lain bisa mengerti perasaan lo, kalau lo aja ga jujur sama diri sendiri” kataku.

“Gue takut semua ga akan lagi sama, kalau lo tau yang sebenarnya. Takut lo pergi, takut lo ga mau ketemu gue lagi, gue ta…”

“Lebih takut mana dari gue yang cuma bisa menerka-nerka, sampai akhirnya memangkas habis semua harapan yang pernah gue punya, Gas?” kataku.

Bagas masih diam, aku juga masih diam. perasaanku campur aduk. Aku tidak tega melihat Bagas menangis. Tapi perasaanku untuk Bagas sudah kepalang habis, hilang tak bersisa. Aku mengambil ponsel dan menghubungi Firda yang tak kunjung datang.

Hening.

Perasaanku untuk Bagas sudah benar-benar tak bersisa, semua sudah hilang.

Aku menarik nafas pelan ada hal aneh yang menggerogoti hati dan pikiranku sore itu. Aku benci Bagas, sangat. Aku bisa menghilang 6 tahun dari hidupnya, tapi untuk menghilang selamanya, aku tidak bisa janji itu bisa terjadi. Aku memajukan langkah, menghampiri Bagas. Ia masih menunduk di kursi taman. Aku duduk di sebelahnya. Kalau sudah seperti ini, Bagas sudah tidak akan berkata apa-apa lagi.

“Gas, gue juga sayang sama lo. Dari dulu sampai sekarang. Tapi sekarang cuma hanya sebatas teman. Perasaan yang dulu itu udah hilang,” kataku.

Bagas menegakkan kepalanya dan menatapku sembari tersenyum.

“Gapapa kok, seenggaknya gue lega udah ngomong, dari pada nanti- nanti gue makin nyesel karena lo keburu pergi lagi, dan bener-bener jadian sama David, anak kelas di kampus lo yang sering lo jadiin pacar pura-pura. Gue tau itu,” kata Bagas.

“Adinara, lo udah hilang dari hidup gue 6 tahun, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk gue milih memaksakan diri membuka hati sama orang,” Bagas masih menatapku.

Perasaanku pada Bagas benar-benar sudah mati. Aku berdiri, dan melihat Firda berdiri dekat parkiran, menungguku. Aku berdiri.

“Gas, urasan hati siapa yang patah, itu tanggung jawab masing-masing. Gue dulu patah, pun sembuh sendiri. Ga minta lo tanggung jawab, kan?. Jadi biarin hati lo juga sembuh sendiri, Gas. Itu tanggung jawab masing-masing, karena perihal hati itu perkara saling, bukan siapa yang paling.” kataku.

Sore itu aku mengeluarkan semua hal yang sudah lama mengganjal, aku yakin Bagas juga lega. Aku berjalan pelan meninggalkan Bagas, menjauh dari kursi taman. Ada perasaan mengganjal yang mulai muncul. Firda dari kejauhan masih memperhatikanku, tidak memanggil untuk aku segera menghampirinya.

“Bagas,” panggilku. Aku membalikkan badan menghadapnya.

“Ya?” Ia menghampiriku

We are cool. isn’t it?”

Ya, sure” jawab Bagas.

“Bagas Sucipto,” Aku memanggilnya lagi.

“Iya Adinara,” jawabnya, kali ini ia menatap mataku teduh.

“Teman…?” tanyaku, menyodorkan jari kelingking ke hadapannya.

Ku lihat ia menghela nafas dalam, kemudian memaksakan tersenyum.

“Teman” jawab Bagas. Ia menautkan kelingkingnya di jariku.

Aku kembali berbalik dan meninggalkan Bagas.

Bagas tidak jahat. Tidak.

Aku juga tidak.

Tentang perasaan, tidak ada yang pernah salah.

ความคิดเห็น


Post: Blog2 Post
  • Twitter
  • LinkedIn
  • Instagram

©2020 by Succ Portofolio. Proudly created with Wix.com

bottom of page